“Garasi” Toleransi Kasih Sayang, Persahabatan dan Cinta
Oleh
Bobby Gunawan Wijaya
Bobby Gunawan Wijaya
Jakarta – Garasi bukanlah film musikal, tetapi memang pantas dibilang sebagai film drama kaum muda yang bergelimang nafsu mencari jati diri. Namun di balik itu, film Garasi yang disutradarai Agung Sentausa ini menggalang penghormatan tinggi pada insan musik Indonesia. Lagi pula berkesan tidak ngarang, karena sosok pemeran utama Ayu Ratna sebagai Gaia dan Fedi Nuril (Aga) mewakili sebagian watak pemusik anak muda kelas menengah, yang menghargai karya musik para pendahulunya.
Gaia adalah gitaris dan vokalis sekaligus komposer muda berpotensi.Dia layak menjadi gambaran pebakat musik yang lumayan banyak di negeri ini. Bakat besarnya menurun dari ayah dan ibunya yang instrumentalis dan vokalis. Gadis muda ini meski tingkatannya sudah terampil, akan tetapi tetap gandrung dengan kejayaan musik kolaborasi dari Guruh Sukarno Putra dan grup band Gipsy di masa lalu.
Dia rela melakukan “pertaruhan bergengsi” supaya bisa merebut kembali kaset Guruh/Gipsy yang telah dikuasai Aga. Sebaliknya, Aga bersedia menyerahkan referensi musik bernilai histori itu, dengan syarat Gaia harus mampu membawakan musik dan lirik ciptaan sendiri ke padepokannya.
Tanpa disadari Gaia, ternyata Aga menyimpan maksud merekrutnya sebagai pelengkap formasi band bernama Garasi. Aga memang menyimpan ambisi untuk menyalurkan konsep karya musik alternative electronic rock sejak lama. Ketika rekan karibnya, drumer Awan (diperankan Aries Budiman) “minggat” dari studinya di Jepang dan berkumpul kembali di Bandung. Maka tingkat ambisinya itu memuncak lagi. Namun, harus ada satu orang (personel) lagi yang harus mampu melengkapkan lagu-lagu kreatifnya.
Kemudian Gaia terbilang cocok masuk di Garasi. Tentu penilaian Aga memang tepat dan benar. Apalagi, Gaia tengah terombang-ambing dalam kerinduan bergabung di grup band yang berdedikasi tinggi. Gaia terbilang telah mencapai titik jenuh ke luar masuk berbagai band. Kalau pun ada ajakan bergabung lagi, ia bersedia hanya karena kecintaannya yang sangat mendalam pada dunia musik.
Kebetulan memang, keinginan utama Gaia, Aga dan Awan hanya satu: hidup dari bermain musik! Maka mereka pun bergabung untuk mempertebal kekompakan dan saling mendukung dalam penciptaan lagu.
Semangat bermusik Garasi yang inovatif, begitu beruntung mendapat peluang kemajuan dari toko musik D’Lawas (Revi, Bison dan Deden). Para pecinta musik sejati yang berpengetahuan luas, memiliki obsesi dan berapresiasi besar itu ternyata bukan sekadar penjual informasi sejarah musik. Ya, berkat kesamaan visi dalam dunia musik, D’Lawas berhasil membuka kesempatan buat Garasi merekam sekaligus memasarkan lagu-lagunya.
Mereka juga ikut bergembira ketika kemudian Garasi mendapatkan sambutan hangat dari kalangan publik muda. Garasi (Gaia, Aga, Awan) terbilang mulus menembus kegemilangan di tangga hits radio dan pentas konser di hadapan penggemarnya.
Persoalan kendala awal Garasi dalam menggapai industri musik juga ternilai enteng, karena ada Awan yang menyimpan “dana segar” untuk langsung masuk dapur rekaman. Lagi pula mereka mendapat dukungan penuh dari D’Lawas yang antusias terhadap ide cemerlang musik Garasi.
Persoalan kendala awal Garasi dalam menggapai industri musik juga ternilai enteng, karena ada Awan yang menyimpan “dana segar” untuk langsung masuk dapur rekaman. Lagi pula mereka mendapat dukungan penuh dari D’Lawas yang antusias terhadap ide cemerlang musik Garasi.
NuraniOrangMudaBisa dibilang, Garasi yang bukan berprinsip film musikal, secara enteng menghindarkan Gaia, Aga dan Awan dari (kemungkinan) cegatan para manajer atau direktur A&R (Artist & Repertoire) hingga produser rekaman yang “membunuh” denganalasanaudisi.Sebaliknya, film layar lebar keenam yang diproduksi Miles Films ini menggiring keharuan penonton pada problema nurani orang muda. Tentang bagaimana menjaga nilai persahabatan, mengungkap perasaan cinta di antara tiga serangkai Garasi (Gaia, Aga dan Awan). Selain itu ada ganjalan persoalan dua kakak beradik, Aga dan Sena (Irwanda Sarumpaet) yang berbeda gagasan dalam berkesenian.
Paling getir dari segalanya adalah permasalahan Gaia yang bernilai sangat privasi. Gejolak inti dari drama Garasi memang digenggam penokohan Gaia yang berorangtua tunggal, Kinar (Syaharani). Patut dimengerti pula kenapa Gaia memiliki jiwa pemberontak, karena dia “ditinggalkan” ayah yang tanpa status pernikahan resmi, dan kehadirannya di dunia tidak diinginkan eyangnya (Niniek L Karim).
Sebagai anak di luar nikah yang bocor sampai ke tabloid gosip, sekaligus menjadi sumber penghancur segala kebahagiaan Gaia, dia merasakan kehilangan segalanya. Terlebih pada totalitasnya bermusik yang tiba-tiba ambruk.
Persahabatan tulus bersama Awan terhenti secara mendadak. Paling menyedihkan, tentu saja kesulitannya menghentikan denyut gejolak asmara (kepada Aga) yang telanjurberdetakdilubukhatinya. Kasus terbongkarnya rahasia kehidupan Gaia, menjadi puncak keharuan sekaligus jadi titik balik dari suatu makna kasih sayang ibu dan anak (Kinar dan Gaia) serta jalinan persaudaraan kekal Aga dan Sena, persahabatan dan kekompakan para personel Garasi, hingga percintaan sepenuh hati antara Gaia dan Aga. Secara menarik, Garasi memenuhi kehendaknya menyajikan tema film baru di Indonesia dengan problema kehidupan anak muda ngeband. Lebih dari itu, film Garasi bukan sekadar menyuguhkan Ayu, Fedi dan Aries berakting, karena mereka sungguh
sungguhberperansebagaipemainband. Pencarian talenta untuk Garasi terbilang tepat, karena Fedi (yang sebelum ini membintangi Mengejar Matahari dan Janji Joni) memiliki minat yang demikian besar terhadap musik. Ayu tercatat sebagai kontestan Indonesian Idol 2005 yang tereliminasi lantaran sakit, dan Aries sempat jadi additional drummer Omelet. Lagi pula ada music director setangguh Andy Ayunir di belakang semua ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar